Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri ala Turki


Tiga hari lalu saya dan 25 teman TDA baru pulang dari kunjungan muhibah selama 8 hari, menghadiri undangan Turki Indonesia Trade Association (TITA).
Sebagaimana kita tahu bahwa Turki dalam 10 tahun terakhir ini di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan mengalami pertumbuhan ekonomi menakjubkan. Sebelum Erdogan pendapatan Turki hanya 200 miliar dollar, sekarang sudah 700-an miliar. Sebelum Erdogan, pendapatan perkapita hanya 3000-an dollar, sekarang sudah 15.000 dollar. Fantastis.
Turki adalah negara Eropa yang saat ini mampu berdiri tegak ekonominya di tengah-tengah Tsunami krisis ekonomi yang tengah menimpa para tetangganya.
Konteks pertumbuhan ekonomi yang mengesankan ini membuat kami begitu antusias untuk datang dan menyaksikan langsung dengan mata kepala sendiri.
Bagaimana mereka mampu melakukannya? Itu adalah pertanyaan strategis yang harus dicari jawabnya.
Terus terang, saya belum menemukan jawaban yang jelas selama bertemu dengan pengusaha-pengusaha di sana. Rata-rata mereka bilang bahwa pemerintah sekarang ini sangat agresif mengundang investasi asing masuk, meningkatkan pemasukan pajak, mengembangkan industri-industri strategis dan sebagainya.
Saat saya tanya, adakah korupsi di negeri ini? Mereka jawab tidak. Saya tidak tahu apakah ini jawaban jujur atau tidak. Istilah “korupsi” sendiri mereka kurang paham. Setelah saya tulis di smartphone ejaannya, barulah mereka paham maksud saya :) .
Satu hal yang sangat menonjol di Turki, terutama kota Istanbul dan Bursa yang kami kunjungi adalah kebiasaan orang Turki untuk menggunakan produk lokal.
Kafe-kafe dan rumah makan tersebar di setiap pelosok kota, tapi jarang saya lihat merek global. Semuanya adalah merek lokal. Ada satu dua saya lihat Starbucks, McDonald’s atau KFC, tapi biasa-biasa saja penampilannya, tidak heboh dan dominan seperti di Jakarta. Pengunjungnya pun tidak ramai. Jauh lebih ramai resto-resto kebab atau makanan lokal khas Turki.
Ketika saya tanyakan, mereka menjawab bahwa orang Turki lebih suka makan di restoran milik orang Turki. Selama di sana, kami dijamu hanya makanan Turki di restoran Turki.
Billboard-billboard atau sign toko mayoritas adalah merek Turki dan berbahasa Turki, kecuali untuk produk elektronik dan otomotif.
Pun demikian dengan gaya berpakaian orang Turki. Di jalan-jalan hampir tidak pernah saya melihat mereka memakai brand global yang kita kenal di Indonesia, seperti Zara, Armani, Levi’s, Calvin Klein cs yang begitu akrab di sini. Tidak ada yang menenteng tas Hermes, Tod’s atau Prada yang begitu digandrungi kalangan menengah atas Indonesia.
Rata-rata orang Turki memakai busana merek lokal, mulai dari baju, celana, sepatu, tas dan sebagainya. Penampilan mereka pun keren-keren. Tidak terkesan murahan karena memakai brand lokal. Memang orang Turki rata-rata cantik dan ganteng sih :)
Tanpa teriak-teriak beli produk dalam negeri, mereka telah melakukannya dengan santai saja.
Kualitas dan disain produk Turki pun harus diakui keren-keren. Kami sempat berkunjung ke pabrik busana muslim ternama di sana dan pabrik jeans. Memang mereka punya produk berkualitas standar Eropa, meski hanya dikenal secara lokal saja.
Mungkin pengamatan saya ini bias dan subjektif karena tidak berdasarkan angka-angka. Tapi fenomena yang terlihat dengan jelas di masyarakat kota itu biasanya mencerminkan kondisi sebenarnya.

Kita perlu belajar dari Turki dalam banyak hal.

sumber

0 komentar:

Posting Komentar